Cerpen

Cinta Kerana Terbiasa

Kata orang cinta tumbuh seiring waktu. Cinta tumbuh seiring kebersamaan. Cinta tumbuh seiring berjalannya kehidupan. Memang betul ucapan orang terdahulu. Bukan tanpa alasan, memang faktanya begitu, jikalau tidak, mana mungkin orang-orang dahulu yang tak saling kenal kemudian dijodohkan dan bertemu di pelaminan bisa langgeng hingga mereka tutup usia

Begitu pun aku. Aku menikah dengan seorang gadis yang tidak pernah ku kenal sebelumnya. Seharusnya saat itu aku menikah dengan pacarku. Tapi pernikahanku dengan gadis yang kini menjadi istriku terjadi karena kecelakaan.

Maksudnya kecelakaan bukan karena hamil diluar nikah. Bukan seperti itu. pernikahan ini terjadi bermula dari kesalahpahaman ayah terhadapku.

Di suatu malam yang tidak terlalu banyak bintang, aku menelpon seorang gadis yang nomor handphonenya kudapatkan dari sorang teman. Katanya, dia memiliki seorang teman cewek. Meski saat itu aku telah memiliki pacar, tapi menurutku tak ada salahnya jika ku berteman dengan wanita itu. toh pacarku itu belum menjadi istriku. Tapi niatku saat itu memang hanya untuk menambah kenalan saja.

Malam itu, ternyata ayah tahu aku menelpon seorang gadis. Ayah menanyakan siapa namanya dan dimana dia sekarang. Tanpa curiga apapun, akhirnya akupun memberitahu nama gadis yang belum pernah kujumpa itu kepada ayah dan mengatakan tempat dimana wanita itu berada.

Sebagai orang Madura, mondok itu telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging bagi kami. baik wanita ataupun pria. Mondok adalah hal wajib yang akan kami lakukan selepas SD. Saat itu aku telah bekerja sebagai guru honor. Dan dia, gadis itu masih mondok yang tempatnya telah kusebutkan kepada ayah.

Tak disangka-sangka, tidak tahu kenapa, tanpa sepengetahuanku, ayah pergi ke pemondokan tempat gadis itu menuntut ilmu. Di sana sosok yang selalu membimbingku itu pergi menemui kiyai pengurus pemondokan itu.

Dan ternyata Ayah datang kesana untuk melamar gadis itu. bukan untuk ayah. Melainkan untuk diriku.

Aku yang tahu tentang hal ini sepulangnya ayah darisana, membuatku tak bisa berkata apa-apa. Ayah tiba-tiba mengatakan bahwa dia telah mengurus pelamaran untuk gadis itu melalui pak kiyai. Untuk orang Madura, ketika masih mondok kita menikah, itu tidak menjadi masalah. Karena itulah, pak kiyai menyetujui pelamaran yang terjadi tanpa sepengetahuanku.

Mendengar apa yang disampaikan ayah, kepalaku seperti terkena rereuntuhan bangunan. Sakit, tapi darah yang berceceran tidak kelihatan. Bagaimana mungkin aku menikah dengan seorang gadis yang tak pernah ku temui dan baru berbicara ditelpon hanya sekali saja. Jika dijodohkan dengan orang yang dikenal ayah itu lain perkaranya. Sudah pasti orang yang dipilihkan itu telah jelas bibit, bebet dan bobotnya.

Tapi masalahnya, ayah juga tidak mengenalnya. Ayah mengira aku memiliki hubungan spesial dengan gadis itu. Jadi daripada berlama-lama dan membuat dosa, makanya ayah berinisiatif sendiri untuk melamarkannya untukku.

Mungkin ayah ingin memberi kejutan kepadaku. Ayah ingin membuatku senang karena wanita yang aku suka telah dilamarkannya untukku. Dan ayah menyangka aku akan senang dengan kejutan ayah ini.

Tapi ayah salah. Aku justru bingung dengan apa yang telah kudengar dari mulut lelaki yang telah berusia enam puluh tahun ini. Namun disisi lain, aku tak sanggup merusak senyum tulus ayah ketika dia menyangka akan menyampaikan berita gembira itu untukku. Akhirnya aku hanya mengangguk menyetujui.

Sebenarnya saat itu, bisa saja ku menolak menikah dengan gadis itu. secara, aku punya alasan karena aku dan ayah sama-sama tak mengenal gadis itu. Tapi hal itu tidak kulakukan. Aku tidak mau mengecewakan ayah. Terlebih lagi aku tidak mau mencoreng wajah dan membuatnya malu kepada pak kiyai. Saat itu ku belajar ikhlas. Mungkin dialah jodohku. Gadis yang tak kukenal dari mana rimbanya.

Tentang pacarku, gadis yang menjalin hubungan spesial denganku selama ini, aku hanya jujur mengatakan semuanya kepadanya. Meski kita saling mencintai selama ini, tapi hubungan kami tak bisa dilanjutkan lagi. Seperti aku, dia juga harus merelakan semuanya terjadi. Meski dia menangis saat itu, tapi aku sudah tidak bisa melakukan apa-apa. aBahkan aku tak bisa lagi menghapus air mata duka di wajah cantiknya. Aku hanya bisa meminta maaf kepada wanita yang selama ini selalu mengisi hari-hariku.

Kini satu tahun sudah aku menikah dengannya, wanita yang kini menjadi istriku. Dan kami pun telah dikaruniai seorang anak. Meski pernikahan itu tak berlandaskan cinta, ternyata seorang anak hadir juga ditengah-tengah kami. Membersamai kami ayah dan ibunya yang dulu menikah tanpa adanya rasa. Lahirnya buah hati kami kedunia membuatku harus menjadi ayah yang terbaik untuknya.

Seiring berjalannya waktu, perhatian dan kesetiaan seorang istri meluluhkan hatiku. Meski parasnya tak secantik kekasihku dulu, tapi kini cintaku padanya melebihi cintaku kepada diriku sendiri. Meski dulu cinta itu tak pernah ada, aku mencoba mencintainya karena Allah. Apapun yang terjadi kedepannya, aku berjanji akan menjadi suami terbaik untuknya.

 Image

Leave a comment